Senin, 10 Juni 2013

WISATA RELIGI MADURA


Budaya masyarakat Madura yang menempatkan kyai sebagai figur panutan yang tetap dihormati meski telah lama meninggal itulah yang menyebabkan banyak terdapat makam kyai di Pulau Garam tersebut. Makam kyai juga seringkali dianggap sebagai tempat keramat yang dipercaya sebagai tempat paling tepat untuk berdoa kepada tuhan dengan tujuan tertentu, di samping juga mendoakan arwah kyai yang ada dalam makam tersebut.
Masyarakat Madura umumnya menyebut makam tokoh agama tersebut dengan sebutan “Bujuk” yang dalam bahasa Madura berarti orang yang sangat tua dan dituakan dalam silsilah keluarga. Namun dalam konteks sosial, Bujuk merupakan orang yang dituakan dan yang patut dituruti segala nasehat dan arahannya.
Nama dari Bujuk tersebut biasanya diambil dari nama tempat kyai tersebut berasal atau tinggal, nama Bujuk juga ada yang diambil dari kebiasaan kyai saat hidup, atau dari hal-hal mistis yang berkaitan dengannya semasa hidup. Seperti Bujuk Banyu Sangka, masyarakat memberikan nama tersebut karena lokasi makamnya ada di Desa Banyu Sangka, Kecamatan Tanjung Bumi, Bangkalan. Sementara nama asli penghuni Bujuk tersebut adalah Sayyid Husein.
Nama yang diberikan masyarakat dari apa yang berkaitan dengan kehidupannya seperti, Bujuk Latthong di Desa Batu Ampar Kecamatan Proppo, Pamekasan. Menurut keterangan dalam buku Kisah Aulia Batu Ampar yang disusun Alm KH Achmad Fauzi Damanhuri (salah satu cucu Bujuk Latthong), nama tersebut diambil
dari cerita masyarakat bahwa kyai yang mempunyai nama asli Syekh Abu Syamsuddin tersebut dulu pernah menyembunyikan senjata musuh yang akan membunuhnya di dalam kotoran sa pi yang dalam bahasa Madura di sebut ” Latthong”. Namun ada juga Bujuk yang diberi nama sesuai atau mirip nama aslinya, seperti Bujuk Sara di Desa Martajasah, Kecamatan Kota, Bangkalan, nama asli ulama tersebut ada Siti Maisaroh.
Terdapat ratusan Bujuk atau makam yang tersebar di empat
kabupaten di Madura dari Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Namun dari jumlah itu, ada beberapa saja yang seringkali dikunjungi peziarah lokal maupun dari luar Madura. Banyaknya peziarah yang datang suatu lokasi Bujuk, tergantung pengaruh dan kharismatik kyai tersebut semasa hidupnya.
Terdapat sejumlah makam yang seringkali dijadikan salah satu tujuan wisata religi di Madura, diantaranya, makam Syaikhona Klolil dan Siti Maisaroh di Desa Martajasah, Kecamatan Kota, Bangkalan, Komplek pemakaman kerajaan Bangkalan, Air mata Ibu di Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya Bangkalan, komplek makam Batu Ampar, Desa Batu Ampar, kecamatan Proppo, Pamekasan, komplek pemakaman kerajaan Sumenep, Asta Tinggi di desa Kebun Agung, Kecamatan Kota, Sumenep dan pemakaman Sayyid Yusuf di desa Talango, kecamatan Talango Sumenep.
Usia makam tersebut dari puluhan hingga ratusan tahun. Berdasarkan silsilahnya, sebagian besar makam tersebut adalah keturunan bangsa Arab yang sengaja datang ke Madura untuk menyebarkan Islam. Sebagian mereka juga masih mempunyai hubungan darah dengan Wali Songo yang ada di Jawa, sebagian lagi merupakan silsilah keluarga kerajaan Jawa dan Madura yang juga dianggap berperan dalam menyebarkan luaskan Islam di Madura.
Bujuk Latthong misalnya, ternyata masih merupakan cicit atau generasi ketiga dari Bujuk Banyu Sangka di Kecamatan Tanjung Bumi, Bangkalan, sementara Bujuk Banyu Sangka juga masih mempunyai hubungan darah dengan ulama yang dimakamkan di kawasan Luar Batang Jakarta Utara. Sementara Bujuk Bindere Saud di kompleks pemakaman Asta Tinggih di Sumenep masih mempunyai garis keturunan dengan Raden Fattah, raja Kerajaan Demak. Sementara Syaikhona Kholil Bangkalan juga masih mempunyai garis keturunan dengan Sunan Kudus dan Sunan Ampel.
back to top