- , bagi masyarakat Madura, merupakan fenomena seni (musik) tradisi
yang mulai banyak diminati masyarakat. Un-daul, pada prinsipnya sebagai
musik perkusi yang tidak banyak membutuhkan pengalaman musik dalam
memainkannya. Fenomena Un-daul sebenarnya merupakan pengembangan musik
Tong-tong, yang sejak awal menjadi musik yang berciri khas Madura yang
dimainkan dengan pukulan monoton namun melahirkan irama dinamis
sebagaimana musik-musik perkusi umumnya.
- Sebagai musik. Tong-tong, membuhkan alat-alat sederhana yang didapat
disekitar masyarakat yang semuanya terbuat dari bambu. Ada beberapa
jenis ukuran yang terbuat dari potongan bambu; dari mulai ukuran besar
panjang sekitar setengah sampai satu meter dengan diameter 40 – 50 cm,
yang akan melahirnya bunyi besar. Sedangkan ukuran berikutnya, makin
mengecil sesuai dengan kebutuhan irama. Ketika ditabuh (dipukul dengan
potongan kayu), masing-masing penabuh memiliki pukul statis/monoton,
namun keberagaman jenis dan ukuran yang beda akhirnya menjadi irama
harmonis dan indah.
- Musik Tong-tong, (kerap disebu untuk wilayah Kabupaten Sumenep,
pernah dikembangkan menjadi musik “Ghursah”, yaitu musik ini
dikembangkan sebagai bentuk pengiring lagu-lagu, yang umumnya lagu-lagu
Madura oleh penyanyinya, dengan tetap mepertahankan musik perkusi. Namun
dalam musik Ghursah dibengkan dengan alat-alat musik lebih besar, bukan
saja terbuat dari bambu, tapi juga terbuat dari balok kayu. Tong-tong
atau ghursah kerap disebut, dhung-dhung, bung-bung, dan sebutan lainnya.
- Musik Ghursah ini, spesifikasinya ditampilkan dalam penampilan
terbuka sebagai tontonan umum. Bahkan untuk acara hajat perkawinan,
maupun acara-acara penyambutan tamu; tamu kunjungan maupun tamu wisata.
Tapi disayangkan, musik Ghursah ini hilang begitu saja.
Sebagaimana musik Tong-tong, Ul-daulpun awal pengembangannya diperagakan sebagai musik patrol sahur, namun dalam perkembangannya musik Tong-tong kurang diminati, lantaran – barangkali – alat-alat musik lain mulai dipegunakan para patroli sahur. Bahkan bukan alat-alat musik yang mulai terjadi perubahan, alat suara (sound system) jauh lebuih praktis dan nyaring dimanfaatkan kelompok patrol ini berkeling kampung. Dari sinilah tradisi patrol sahur dalam bulan Ramadlan semakin langka./ul>
- Entah bagaimana awalnya, tampaknya ada kesepakatan tidak tertulis
dari pelaku patrol sahur. Barangkali mereka (patroli sahur) termotivasi
fenomena musik di Indonesia, sehingga musik Tong-tong dikembangkan lagi
menjadi lebih proporsional. Alat-alat musik tidak ada bedanya dengan
alat musik sebelumnya, namun disini dilengkapi intrumen baru, meski
sangat sederhana. Contoh misal, untuk melahirkan irama melodi mereka
gunakan alat musik gamelan peking, atau untuk tambur, mereka galon
minuman mineral untuk melahirkan bunyi bas, dan lainnya.
- Sama dengan Ul-daul, alat musik yang digunakan tentu lebih besar dan
lebih lengkap. Pembentuk irama misal beberapa alat musik peking,
kenong, kendang serta alat wajibnya yaitu tong-tong, dung-dung, dug-dug,
bung-bung dan sejenisnya mencipkan suara lebih dinamis dan
menggetatkan. Apabila ditambah sound system yang memekakkan terima.
Wahh, gemuruh rasanya.
- Marakkan Ul-daul (sampai sekarang siapa awal pencipta dan pemberi
nama Ul-daul, belum diketahui), tapi sebagian orang berpendapat, kata
Ul-daul, berasal dari kata “gaul”,ul-gaul”, dan dipraktiskan menjadi
“ul-daul”. Dalam pengucapkan dan uangkapan orang Madura, misal: sebutan
anak laki-laki “kacong” tapi kerap dipanggil “encung”, untuk perempuan
“cebbhing”, tapi juga dipanggil “embeng”, atau nama-nama yang berahir
dengan kata ……..udin, maka mereka akan dipanggil “Endin” atau “Ending”
dan seterusnya. kemudian diucapkan dalam bahasa Madura menjadi “
- Sebagaimana kerapan sapi, festival Ul-daul pada akhirnya menjadi
ajang prestise bagi para pesertanya. Bukan hanya musik yang ditampilkan,
tapi lebih jauh dalam peragaan penampilan dengan berbagai bentuk san
asisoris sangat dominan sebagai bentuk kemeriahan penampilan. Apalagi
penampilan dalam festival Ul-daul didukung sepenuhnya oleh Pemerintah
Daerah di wilayah Madura, sehingga antutias peserta semakin meningkat
dengan berbagai motivasinya.
- Lagi-lagi, sebagaimana kerapan sapi, penampilan dalam festival
Un-daul memakan beaya cukup besar, konon kabarnya untuk beaya satu set
lengkap alat musik Ul-daul bisa mencapai 30 – 40 juta. Dan dalam proses
penggarapan media pendukung, tidak cukup dilakukan satu hari ditempat
start menjelang festival. Dan bahkan kelap kelip lampu dan lampu sorot
(bahkan strobo light) menjadi ornamen kemeriahan dari masing-masing
peserta, termasuk didalamnya pengeras suara (sound system kapasitas
besar), serta diesel tenaga listrik selama perjalanan festival
berlangsung.
Lebih menarik lagi, musik Ul-daul telah merambah penampilannya di berbagai wilayah, kota-kota besar dan daerah lainnya, dengan mendapatkan antusias dan sambutan yang cukup menggembirakan. Maka tidak ayal, bila musik Ul-daul menjadi fenomena musik tradisi masyarakat Madura.